Gue selalu percaya perilaku seseorang terbentuk berdasarkan pendidikan yang mereka dapat dan lingkungan yang mengelilinginya (keluarga dan teman). Buat gue, pendidikan sekolah itu dasar teoritis supaya manusia bisa beradab dan lingkungan manusia itu adalah tempat untuk mereka mempraktekannya, atau justru “juggling” dengan dasar-dasar tata krama yang mereka pelajari di sekolah ketika apa yang mereka hadapi di lingkungan tidak selalu positif. Di sinilah kepribadian (karakter/sifat dasar asli) manusia berperan. Akankah manusia mampu beradaptasi dan menolak hal-hal negatif itu, atau justru terpengaruh?
Secara teori, semakin tinggi pendidikan seseorang, seharusnya cara pikir dan perilaku mereka semakin baik. Tapi belum tentu. Mau sepinter dan sekaya apapun, kalau lingkungan mereka “sampah,” maka segala tata krama yang mereka pelajari di sekolah ya terancam bubar jalan aja. Yang kelas ekonominya biasa aja atau lebih rendah mungkin nggak pinter-pinter amat, tapi ternyata bisa lebih sopan karena lingkungan tempat dia bertumbuh dewasa sangat kondusif untuk pengembangan kepribadian dan perilakunya. Biasanya yang kayak gini berperilaku pake logika dan perasaan alias mikirin orang. Pokoknya mau kaya, mau miskin, menurut gue lingkungan hidup mereka berpengaruh tinggi dalam membentuk sikap dan perilaku manusia.
KENAPA OMONGAN GUE BERAT AMAT KAYAK NULIS SKRIPSI?
Karena mungkin beberapa orang perlu ditampar sekali-sekali.
And because a state-of-the-art DSLR camera can’t buy you no attitude.
Yes, gue keki banget baca berita perayaan Waisak tahun ini yang sangat mengecewakan karena turis-turis kampungan yang nggak tahu tata krama di tempat orang beribadah. Bayangin nggak kalau lo lagi berdoa, lagi nenangin pikiran, tahu-tahu depan muka lo ada orang jeprat-jepret, pake flash lagi. Semakin “panas” lagi karena gue denger cerita langsung dari temen-temen gue yang ikut Waisakan kemarin plus liat foto-foto yang berseliweran dan tadi baca artikel ini.
Kenapa gue “panas”? Karena gue nggak rela temen-temen gue yang mempersiapkan tripnya dengan baik dari jauh-jauh hari dan “tahu diri” (baca: sopan) di “tempat orang” harus rusak tripnya karena kelakuan turis-turis norak yang nggak tahu tata krama. I knew how excited my friends were and I was sad that their trip was ruined not because the lanterns were canceled but because some people apparently lost the functionality of their brains for the sake of making good Instagram, Facebook, Twitter and Path pictures.
Oh, you think I don’t know where all those lanterns pictures will end up at?
Membaca cerita Waisak tahun ini, tentu saja gue bersyukur gue sudah melewatinya tahun lalu, termasuk melihat pelepasan lampion. Tapi semuanya dilakukan dengan khusyuk. Gue tahu media berperan besar dalam memengaruhi seseorang. Gue pun terinspirasi untuk melihat perayaan Waisak ini karena nonton film Arisan! 2 yang memuat scene yang sangat indah di filmnya. Tapi gue tidak melihat film ini mengirim pesan yang salah. Saat itu diceritakan tokoh utamanya (kalo nggak salah namanya Mei) sedang mencari ketenangan hidup supaya terlepas dari beban pikiran akan penyakit yang dideritanya. Itu kenapa dia memilih untuk pindah ke Gili yang lebih tenang dan ikut dokternya mengikuti prosesi perayaan Waisak di Borobodur. It was so beautiful and yet so calming.
And that’s why I wanted to experience the same thing. I really wanted to see the beauty of it all, the peace, the lanterns, the magical feeling of being in the middle of it. Mana ada scene turis seliweran ke sana ke mari, berisik manggil temen, buang sampah makanan sembarangan dan sebagainya di film itu…
YA KARENA KALO DATENG KE TEMPAT ORANG EMANG HARUSNYA KITA YANG TAHU DIRI BUKAAAN?
Hadeuh.
Gue inget betapa khusyuk dan tertibnya suasana perayaan Waisak di Candi Mendut dan Candi Borobodur tahun lalu walaupun dengan kehadiran turis baik lokal maupun internasional. Memang tidak sebanyak tahun ini pastinya, tapi tetep aja dari sekian banyak orang di situ kan bisa aja kami berlaku aneh-aneh, tapi nyatanya nggak. Mungkiiin, selain belum banyak yang tahu, tahun lalu alurnya kami agak sedikit berbeda. Selepas prosesi di Candi Mendut, seharusnya kirab para biksu dan umat sampai di Candi Borobudur sampai kira-kira pukul dua siang. Sayangnya hujan menggempur Magelang sampai kira-kira empat jam lebih dan hujannya konstan sekali, sehingga kami agak nggak mungkin keliaran di dalam pelataran Candi. Males basah-basahan, kami cuma makan dan ngobrol ngalor ngidul di mobil selama berjam-jam sambil nunggu hujan reda. Waktu hujan sudah jauh lebih reda, langit sudah gelap, gue lupa itu jam berapa tapi kalau nggak salah itu di atas jam setengah tujuh malam. Walau masih agak rintik kami kemudian mencoba masuk ke area Candi dari pintu 7 karena kami dengar rombongan umat Buddha juga sudah sampai semua di sana. Kami jalan menuju candi dengan tertib dan mencari posisi di depan altar dengan anteng. Panitia perayaan Waisak tahun lalu yang kebanyakan anak muda juga sigap dan tegas mengatur flow acara, jadi kami tahu batasan kami untuk duduk atau berdiri sehingga nggak mengganggu.
Udah gitu para biksu memimpin semuanya (umat dan turis yang datang) untuk bermeditasi bersama, menyatukan pikiran supaya ujannya berhenti demi kelancaran prosesi. Dan nggak berapa lama ujannya berhenti :’) Setelah itu kami semua mengikuti prosesi dengan tenang, tentu saja kami foto-foto, tapi ya fotonya dari tempat kami duduk dan nggak pake flash. Dan buat gue, malam itu gue nggak cuma jadi turis, walaupun ini bukan perayaan agama yang gue anut, gue senang karena bahkan dengan cara berdoa yang berbeda, kami semua di tempat itu tetap bisa menyampaikan permohonan kami bersama-sama. Pun ketika kami ikut proses Pradaksina (mengelilingi candi sebanyak 3x sebagai bentuk penghormatan pada candi yang dianggap objek suci) dan pelepasan lampion. Kami pulang dengan kondisi udah capek banget tapi seneng bisa jadi bagian dari perayaan Waisak umat Buddha di Indonesia, bisa menyampaikan doa kami, bisa melihat betapa “magical”nya momen lampion diterbangkan, dan pulang dengan teman-teman baru yang susah seneng seharian đŸ™‚
Kemaren gue sempet ngobrolin soal waisak ini sama temen-temen Nyinyirs gue, kami sempet ngebahas kalau gini caranya, apa lebih baik perayaan ini ditutup aja buat turis supaya nggak mengganggu yang berdoa. Tapi di satu sisi, gue pikir itu mungkin langkah ekstrimnya ya. Kalau di negara lain upacara keagamaan bisa berjalan khusyuk DAN tetap menyedot kedatangan turis, kenapa kita nggak bisa? Kalau tahun lalu gue baik-baik saja dan tahun ini mungkin kacau, mungkin tahun depan bisa diambil langkah supaya bisa lebih baik?
Menurut gue, kalau umat Buddha yang beribadah di sana terganggu sama kehadiran turis, udah dari dulu kali ngelarang kita untuk masuk. Ini kan berarti selama turis yang datang nggak mengganggu, maka mereka bisa sembahyang dan kami bisa mengikuti. Berarti gapnya apa? Turisnya ganggu apa nggak, kan? Menurut gue harus ada edukasi lebih kenceng lagi aja untuk para turis. Gue juga agak bingung sih gimana cara mengedukasi orang yang emang kelakuannya kampring dan nggak tahu sopan santun. Cuma paling nggak orang-orang yang ndablek ini harus dikasih tahu aturan yang jelas karena mungkin otaknya nggak nyampe kalau…
…orang lagi sembahyang jangan difoto-foto
…altar buat biksu jangan dinaikin…
…kalau ke ibadah orang (ya ibadah agama sendiri apalagi) pake baju yang sopan (kebayang nggak ngundang temen ke pemberkatan/ijab kabul pernikahan elo dan temen lo dateng pake tank top sama celana pendek? berasa being disrespected kan? It applies otherwise, baby)
…terus kalo udah dilarang panitia yang lebih ngerti acaranya lah mbok nurut
…dan kalo lampion nggak jadi diterbangin karena hujan deras YA NGANA PIKIR AJA, MASA MINTA DUIT LAMPION DIREFUND? Itu pasti kan juga beli lampionnya patungan yang mana seorang paling-paling 20ribu terus ngana masih minta ganti setelah berperilaku nggak geunah di tempat ibadah orang? Daripada terbangin lampion mending elo aja yang diterbangin gimana?
*EMOSIK SAMA ORANG NDABLEK*
Ya itu aja sih menurut gue, sayang aja kalau perayaan ditutup hanya karena ada orang-orang ignorant. Bayangkan kontribusi devisa negara yang masuk dari turis mancanegara dan pendapatan daerah dari turis lokal, dan tentunya exposure dunia ke Indonesia khususnya di dunia pariwisata akan lebih baik lagi: kalau semua dimanage dengan baik, peraturan dipertegas & petugas dibanyakin, apa sekalian taruh tentara aja untuk jaga altar (orang kampring nggak akan pernah nyadar dia kampring, jadi harus digetok, trust me), kalau perlu ditarik biaya yang sekiranya pantas untuk para turis ketika ingin mengikuti prosesi, jadi kayak komersialisasi acara agama sih, tapi paling nggak orang-orangnya akan lebih kefilter (walopun tetep duit nggak bisa beli attitude) dan duit yang masuk bisa untuk WALUBI atau maintenance candi atau disumbangin atau apa kek gitu. Banyak gereja yang jadi tempat wisata di Eropa aja masuknya bayar kok, jadi harusnya sih nggak papa ya.
Begitulah uneg-uneg gue. Gue sama sekali nggak bermaksud menggurui, tapi cuma ingin berbagi cerita dan mengingatkan. Sedih lho liat kelakuan bangsa sendiri kayak gini. Di negara sendiri, di antara sesama umat beragama yang ada di negara ini aja kita nggak bisa jaga perilaku, kebayang nggak sih mau jadi apa kalau ada di negara orang? Gimana kita nggak dipandang sebelah mata mulu kalau kelakuan masih kayak jaman Pithecanthropus gini?
Gue selalu percaya kalau ilmu itu bisa dikejar, tapi kampungan itu selamanya…
…kalau kita nggak terekspos di lingkungan yang membentuk kita jadi lebih baik.
Yang penting selalu inget untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kalau nggak suka diganggu, ya jangan ganggu orang. Kalau dateng ke “rumah” orang, ingat bahwa masing-masing rumah punya aturannya sendiri. Kita kan juga nggak suka kalau ada yang nggak sopan di “rumah” kita.
Selalu inget kata “Maaf”, “Tolong,” dan “Terima Kasih,” sebagai bentuk penghargaan terhadap satu sama lain, apalagi kalau kita lagi susah, tiga kata itu bisa sangat membantu. Mana ada orang yang mau nolongin orang kagak sopan?
Selalu inget juga budaya antri (ini gue masih sering banget liat pas lagi antri TransJakarta, yang nyelak pengen gue jorokin satu-satu deh ke jalan, huhuhu).
Selalu inget buang sampah pada tempatnya, buat apa bisa beli mobil bagus tapi kagak bisa beli tempat sampah di mobil, buangnya tetep aje ke jalan. Ngana sekolah kan?
Selalu inget kalau lo mau ngerokok itu urusan lo, tapi plis asepnya ditanggung sendiri alias jangan kena muka yang nggak ngerokok.
Selalu inget kalau nonton konser itu lo nggak sendirian. Banyak orang berdiri di belakang lo juga JADI KALAU FOTO APALAGI NGEREKAM JANGAN PAKE TALENAN APPLE (baca: iPad) LOOO! Beli iPad bisa, beli kelakuan kagak! -_-
Selalu inget kalau mau naik lift, TransJakarta, taksi, kereta, bis, dan lain-lain… BIARIN YANG DI DALEM KELUAR DULU KALEEE, di mana-mana juga gitu! HIIIIH *maap emosik, sering banget ngalamin ginian*
Dan ingatlah bahwa eskalator itu bukan milik nenek moyang ngana jadi kalau mau ngobrol jangan di depan eskalatornya dan mungkin kita bisa mulai membiasakan diri kalau berdiri di eskalator di satu sisinya aja (di kiri kayak di Singapore atau di kanan kayak di Eropa) supaya orang yang lagi buru-buru bisa pake jalan yang kosong.
Semoga apa yang terjadi di perayaan Waisak ini bisa jadi pelajaran dan reminder untuk kita semua dan semoga perayaan Waisak tahun depan bisa lebih baik lagi. Amin.
kadang sdh dikasih tanda2 jg gk diturutin, apalg cuma dikasih tahu aja, mesti dihajar dulu kyk polisi2 ngurusin yg rusuh kl lg dangdutan
iya makanya… ndablek -_- taruh polisi aja sekalian dan dikasih pengumuman jelas di awal
common courtesy is not common anymore
apparently (and sadly)… yes -_-
Hey Teps, as a Buddhist I am very grateful that some people do still have manner. I apreciate how the society act while these whole thing happens. Saat baca ceritanya pun gue sempet emosi, sama orang2 yg ga bermanner itu.. Pengen rasanya gue keplak terus toyor bolak balik yogya – jakarta kali aja otaknya jadi beres. Dan memang untuk acara itu kebanyakan yg jadi volunteer itu anak2 mahasiswa dr kampus2.. Jadi mungkin orang ga tau diri itu jadi makin belagu. Well, all I want to say is, I’m very thankful that still a lot of people like you that care and respecting our ritual, and not just see it as a travel object. :))
glad to hear this, Andy đŸ™‚ semoga perayaan Waisak kalian tahun depan bisa lebih lancar ya… amin!
thanks for the wishes! :))
Sayang ya Tep đŸ˜¦
Bener banget neng, kemarin gue juga kesana. Dan sempat ketemu ama orang2 yang ga punya manner, yg minta panitia ngumumin pakai TOA kalau pandangan mereka terganggu karena beberapa orang yang pakai payung padahal kegiatan doa udah dimulai. Panitia udah jelasin, tapi tetap berkeluh kesah mereka, kebetulan gw muslim dan pakai jilbab dan yang yang complaint tadi mbk2 berjilbab. Karena gw malu dan kasihan ama panitianya yang kebetulan masih muda jg, gw sampai bantu jelasin ke mbk2 tadi…so sad…
Gw suka banget ama post mu neng! ngingetin supaya kita jadi manusia yg lebih beradab #tsaaaaah
Semoga tahun depan perayaan Waisaknya lebih lancar dan ga ad orang2 macam begonoan yaaa..
Dan gw pun sering negor orang yg ngalangin jalan di eskalator dan jembatan penyebrangan. Dia kata itu space cuma punya mereka apeee (–___—!)
Neng teppy….
Gw salah satu pengunjung Borobudur sabtu kemaren. Niat ke Borobubur bukan buat foto kalopun bisa foto ya alhamdulilah tapi karena pengen mendapat pertemuan dengan Tuhan dengan cara berbeda. Gw bersama dengan 9 org teman gw sudah mempersiapkan diri dan saling mengingatkan untuk ga norak dan menghormati acara Waisak sebagaimana kami menghormati Misa, kebaktian dan sholat dan bahwa kami adalah pendatang.
Tiba di Borobudur jam 5 sore setelah bersepeda 20 menit mendapati ramainya candi besar ini dengan turis lokal yang berasal dari Jabodetabek berpakaian hendak ke konser penyanyi idolanya ato seperti mau gawul malam mingguan di tempat hits jakarte (i know what i meant)
Duduk menunggu prosesi acara dgn tenang meskipun diguyur hujan.
Memang kelakuan dan sopan santun ga bisa dibeli, terbukti ketika MC memberi kata sambutan “kita semua berkumpul di sini di bawah hujan adalah berkah. Demi sang Budha hujanpun kita hadapi” yang disambut dengan huuuuuuh. HALOOOOOO dimana letak sopan santun dan tata krama?? Ga diajar ya sama orang tua di rumah??? Ini acara orang lu malah teriak teriak, emangnya lu punya sumbangsih terhadap acara ini? (Emosi)
Lalu si MC menyampaikan tibanya si pak Menteri Agama dan Muspida Jawa Tengah dan disambut lagi dengan uuuuu panjang. Demikian juga ketika Menteri Agama, Gubernur Jawa Tengah (yang pidato diselipin politik pemilukada Jateng) disambut uuuu panjang oleh peserta waisak.
Gw sebagai pengunjung miris dan kesal dengan kelakuan kampungan dan norak orang orang gila ini. Gw mempertanyakan kesopanan dan tata krama orang kota ini, yang nyatanya lebih kampungan daripada gw yg lahir dan besar di kampung. Ya hampir seimbanglah dengan kamseupaynya tante marissa.
Dan apa hal ajaib yg gw memenukan sepasang anak muda yang berpelukan di bawah hujan berlindungkan payung demi sebuah Prewed documentation. WTF. Ajaib…ajaib….cewenya cakep dan cowonya ganteng (gw demen sama si kokoh cakep ini) tapi kelakuan jelek pollll.
Gw ga liat bagian rusuhnya krn gw sudah turun dari pelataran candi dengan basah kuyup saling bergandengan tangan dengan 9 teman lainnya. Yang gw dapati di bawah di warung warung adalah anak muda jekartah yang mengeluh gagalnya pelepasan lampion malam ini.
Kita yang anak2 biasa biasa tanpa DSLR ini nyari warung lain yang sepi untuk mengisi perut dengan indomie kuah dan segelaa teh hangat untuk menghangatkan jiwa demi mengayuh sepeda menuju penginapan.
Gw sepakat sih neng, Waisak harus dikembalikan ke keadaan semula, perayaan cinta dan bakti kepada Yang Maha Kuasa bukan pertunjukkan pariwisata yang menghilangkan makna dasar waisak.
Kalo dipungut bayaran sih ga bakalan ngefek soalnya org kaya tanpa sopan santun itu masih bisa datang, sekalian aja ditutup untuk umum saja.
Aduh pas denger berita ini gw udah ngenes banget…ditambah baca blog loe ini tep. Ga percaya, ya ampun orang2 ini manner dan otak nya kemana yah? emang harusnya tertib itu ditanemin dari kecil…dan gak pandang bulu..ga kaya ga miskin..tertib itu mutlak di ajarin. ih, kesel bgt sama oknum2 cepret ini..! gw gak nyalahin sih kalo ditutup buat umum, karena kalo bikin rusuh gini kan yg beribadah ga khusyuk. mungkin jg jadi pelajaran buat orang2 tengil ini…walopun sayang bgt buat yg lain kena getahnya juga đŸ˜¦ Gemes gueee!!
berita soal #Waisak ini emg bikin sebel bgt ya, tep.
gw bahkan mikir, malam itu emg sengaja ujan krn Tuhan pun kesal dg kelakuan mereka. *apasih, cha*
mudah2an bisa belajar dari kejadian ini dan tahun depan ga dibuka untuk umum lagi.
gw masih emosiii bgt apa lg pas liat foto2nya, gw sih ga kebayang lagi solat tau2 byk org taking pics, yg ada gw ngamuk2 pasti.
Trus di Twitter ada yang bilang: “Candi Borobudur kan tempat wisata? Lha berdoa di situ.” Lah, it’s the other way around, baby. Borobudur aslinya tempat berdoa, trus disahkan jadi tempat bersejarah yang berubah jadi tempat wisata. Gemes gak lo? Belum lagi ada yang bilang: “Yang difoto gak protes” Lha menurut nganaa? Kan lagi doa.
Dan gw juga sebel banget tuh sama yang gak ngantri, gak ngasih jalan mereka yang keluar duluan sama yang berdiri di eskalator/travelator ngeblok jalan.
Aslik gw gatel bgt pgn nonjokin satu persatu tu org2 sok yg ganggu jalannya acara ibadah waisak. You were right, money cant buy attitude. Disini letak susahnya indonesia, rakyatnya msh goblok soal tata krama tp gak mau diajaarin karena berasa udh paling pinter sedunia. Dandan boleh cakep tp kl ngantri wc umum mall aja gak bisa mending lu kencing di mck.
Gw rasa untuk nutup acara waisak untuk umum jg gak mgkn krn ini acara besar. Lah wong smp undang pak mentri (yg tidak menunjukkan rasa hormat dia thdp pentingnya acara smp dtgnya telat.. mentri macam apa?). Tp mgkn akan membantu jika panitia acara dibikin lbh pro dengan mempersiapkan pagar2 batas dimana posisi penonton boleh berdiri. emang sih jadinya mrk gak bisa ngikutin prosesi ngelilingin candi. But at least ibadah bisa berjalan tertib tanpa diganggu turis.
Sedih ya. Kl terus begini lama2 umat buddha gak ada yg mau ikut waisakan di borobudur, mending di candi lokal aja yg lebih sepi dan tertib. Dan kl begitu lama2 status borobudur sbg candi (tempat ibadah) luntur dan bergeser turun status jd sekedar tourist attraction. Sad. We shouldnt let that happen.
Woaaaah, rame. Intinya mah mikir ajah toh? I mean, that verse “Do to others as you would have them do to you,” is true. Easier said than done emang…
berita ini emang bikin emosi banget… mudah2an perayaan waisak tahun depan bisa kembali tertib dan ga ada gangguan dari turis2 kampungan…
mengenai antri di transjakarta dan orang2 yang ngerokok, itu juga salah satu hal yang bikin emosi jiwa…
aaahhh iya banget kak, aku datang tahun kemarin dan tahun ini
yasalam ngerasain banget jomplangnya gara-gara kelakuan orang-orang kampring. hiiiiih syebeeeel
Neng Teppy,
Seneng lo bikin posting an ini, buat raise awareness juga.
Gue mau komen dari persepsi gue dan nyokap yang sama2 Buddhist. Waktu gue kecil, mungkin tahu 90-an, jaman or-ba, walubi masih siapin perayaan waisak ini dengan sangat2 serius loh, nyokap gue salah satu yang nyanyi lagu2 merdu yang bikin perayaan makin khusuk dan indah deh. Nyokap selalu nunggu2 hari waisak setiap tahun.
Sejak orde baru jatuh dan perebutan power di govt jadi makin gal sehat, oknum SHM (nggak gue sebut nama lah ya) yang berusaha utk mempertahankan posisi ketua walubi bikin perayaan waisak jadi nggak ‘lurus’ lagi, karena emang yah motivasi nya udah nggak bener lah.
Sekarang nyokap udah nggak pernah lagi ke Borobudur pas waisak, karena emang skrg koor nyanyi nya juga udah nggak dipersiapin mateng lagi, tapi koor yang ‘asal comot’ aja yang penting ada. (mgkn ini krn sang oknum udah mendapatkan apa yg dimau kali yah, which is power, dunno) yang pasti setiap tahun kami cuma sembahyang di rumah, dan somehow bisa ttp khusyuk kok. =)
Gue nggak bisa meng-ekspresi-kan betapa kecewanya gue baca berita soal waisak di borobudur kmrn. How does it feel to be us, the buddhist when you only have one day a year to have this such privilege and people turn it to be some kind of exotic selfish entertainment. =(
Hai tep, gue kemarin dtg ke waisak karena baca postingan lo tahun lalu. memang kemarin banyak bgt alay yg ga sabaran & teriak-teriak, ketawa terbahak2 sm temennya. gue pun ngerasa ga enak tapi jumlahnya yang banyak itu mungkin sampe panitia jg ga bisa apa2.
tp gue setuju klo tahun depan ditutup karena agak mustahil ya disini nertibin begituan. mungkin hujan kemarin ada bagusnya juga karena ga kebayang nerbangin lampion ditengah org segitu banyak, takut rusuh.
“Gue selalu percaya kalau ilmu itu bisa dikejar, tapi kampungan itu selamanya” hahaha i love this statement. Kayaknya banyak orang yang sekarang lupa melihat kepentingan orang lain ya, yang dipikir cuma dirinya sendiri. Bodo amat orang lagi doa pokoknya gw mau moto biar bisa pamerin di path/fb/instagram/twitter/blog gw.
Kayaknya banyak orang yang lebih cenderung merasa entitled daripada privileged. Mereka mengedepankan argumentasi bahwa lampion atau view yang bagus sudah menjadi hak mereka, bukannya merasa beruntung bahwa mereka diberikan kesempatan untuk menyaksikan sesuatu yang indah dan sakral.
đŸ˜¦ sedih ya, tapi di saat yang bersamaan senang juga liat banyak yg perduli kayak kamu tep, dan temen2 lain yg komen di sini. Semoga ini artinya masih ada harapan menularkan common courtesy sama orang orang goblok itu
iya banget neng, i really think education and a firm reinforcement are the key to help “shaping” these kinda people *sigh*
Hei, udah bbrp saat follow blog lo n baca bbrp dan JEMPOL. Cara menyampaikannya bagus dan bener2 nusuk sekaligus masi enak dibaca.. gak kayak gue yang ngomel mulu.. hihi.. Hari ini baru baca blog yang ini dan ikutan esmosiii… Tapi emang ini penyakit orang Indoensia, ga betah megang sampah, gak betah ngantri, gak betah nunggu, maunya seenak gue aja. Capek deeh.. Kalo di luar negeri mah udah diliatin terus dikasih hukum masyarakat (baca: dikucilkan) biar tabiat jeleknya gak merusak orang-orang sekitar. Semoga orang-orang yang baca bisa share tulisan ini ya, biar kita bisa lebih tau diri…