Menjelang akhir Mei lalu gue sempet nonton satu film Indonesia bagus, judulnya “Aisyah – Biarkan Kami Bersaudara.” Sayangnya waktu itu gue nggak sempet nulis reviewnya langsung pas filmnya masih fresh dan bahkan belum tayang di bioskop, sekarang begitu filmnya udah turun, baru sempet gue tulis. -_-
Tapi biar gitu, menurut gue semua orang butuh tau kalau kita punya film yang dibuat dan dikemas dengan sangat baik. Menurut gue sih ini film level festival. Sarat makna, sederhana, dekat dengan keseharian, punya pesan moral, dan menghibur, tentu saja. Selipan komedinya pas dan nggak kerasa dibuat-buat.
Film ini mengisahkan Aisyah (Laudya Cynthia Bella) yang berprofesi sebagai guru yang ditempatkan di sebuah desa di Atambua. Ceritanya dimulai dari Aisyah masih menunggu kepastian penempatan di Puncak sana, sampai akhirnya dia harus beradaptasi di Atambua.
Aisyah digambarkan sebagai seorang perempuan Islam yang taat tapi juga toleran, baik hati, mudah beradaptasi, dan sabar luar biasa. Sebenernya menurut gue hampir nggak ada konflik berarti sih di film ini. Konflik agama yang ditonjolkan juga nggak gitu-gitu amat rasanya. Bukan tiba-tiba si Aisyah ditimpukin batu atau apa, atau diusir dari kampung, cuma ada satu anak SD yang pemberontak aja yang bikin suasana belajar jadi nggak enak karena dia (doang) yang bawa-bawa isu agama (di sana mayoritas Katolik, jadi si Aisyah ini kayak jarum di ladang jerami gitu) dan menghasut temen-temennya yang lain untuk nggak sekolah hanya karena gurunya Islam. Nah, menurut gue sih konfliknya cuma di sini aja, dan tetep kurang kuat. If I were her, I personally wouldn’t really bother on that one kiddo if I can still manage the rest.
Dari keseluruhan cerita, gue masih ngerasa Aisyah ini hidupnya sebenarnya baik-baik aja. Dateng dari keluarga Sunda baik-baik yang berkecukupan. Kaya nggak, miskin juga nggak. Punya ibu yang baik dan perhatian, punya gebetan cakep yang juga perhatian (malah bikin hepi pada akhirnya), yang kalau mereka nggak jadian pun sebenernya nggak bikin dampak apa-apa, menurut gue Aisyahnya bakal baik-baik aja. Temen-temen dan warga kampung tempat Aisyah mengajar juga super baik semua dan berusaha bikin Aisyah merasa nyaman dan terbantu, walaupun di sana susah dapet makanan halal dan Aisyah sempet hampir nggak bisa pulang kampung pas Lebaran, semua warga ngebantuin. Bahkan ketika dia mengalami kesusahan di awal masa mengajarnya karena anak-anak yang awalnya kehasut isu agama itu pada mogok sekolah, kepala desa di sana segera turun tangan dan membantu. Terlepas dari kering dan tandusnya desa itu, bahkan sampe kekurangan air, tetep aja gue nggak ngeliat Aisyah susah-susah amat idupnya.
Jadi apa yang bikin gue merasa film ini bagus?
1. Karena kekuatan akting semua pemainnya. Gue ngerasa mereka mainnya nggak ngasal, malah natural, jadi nontonnya enak.
2. Karena sinematografinya yang bisa bikin gue pengen cabut ke Atambua, dan makin yakin gue harus sering-sering eksplorasi Indonesia Timur.
3. Karena film ini membuka mata soal kualitas hidup temen-temen di Indonesia Timur dan bagaimana pemerataan pembangunan harus ditingkatkan di sana karena… jomplang banget. Atau mungkin agak terlupakan.
4. Karena film ini juga nunjukkin kalau hidup berdampingan beda agama, atau jadi minoritas di wilayah agama mayoritas itu nggak susah. Banyak juga yang baik-baik aja, kok. Intinya: orang baik di dunia ini tuh masih banyak banget. It doesn’t matter how you look or what your belief is. Nggak bilang Indonesia 100% super damai juga, tapi paling nggak sampai saat ini gue ngerasanya negara ini masih punya banyak harapan untuk bisa hidup damai berdampingan terlepas perbedaan suku, agama, ras, kehidupan, kondisi ekonomi, dan lain-lain.Yang jahat dan nyebelin banyak, tapi yang baik-baik juga banyak.
5. Karena buatnya niat. Lo bisa bedain lah ya film yang dibuat asal jadi sama yang dibikinnya pake hati. Lo bisa ngerasa kok film ini dibuat dengan sangat baik, paling nggak dengan dedikasi. Apakah bisa lebih baik lagi? Bisa banget. Menurut gue sayang aja film bagus ini posternya cuma gitu doang. Harusnya bisa lebih “inviting.” Terus sound/scoring di beberapa scene sempet kekencengan, tapi sisanya OK. Teruuus, pesan dari film ini menurut gue sih bisa digeser/dititikberatkan ke hal lain, misalnya tentang perjuangan hidup di desa yang tertinggal, atau cantiknya Atambua, atau susahnya dapat akses ke pendidikan di desa terpencil, atau ke nilai-nilai persahabatan aja sekalian (kayak Laskar Pelangi). I know this film covers almost all that aspects, but they emphasized it too hard on the religion bit I almost feel it’s a tad too much.
Oh, satu lagi, coba tanggal rilisnya dibarengin sama pas anak-anak sekolah pada libur, mungkin film ini bisa bertahan lebih lama, paling nggak punya kans lebih besar untuk diliat sama anak-anak dan orang tua yang lagi pada libur.
But all in all, once again, I love that it is well made, well written, and well acted! So if one day you have the chance to watch it (though it’s not in theater anymore), please do! 😀
Aku liat trailernya dari IG nya LCB. Aaa ntar nonton deh pas pulang hehe
blm sempet nonton nih 😦 mudah2an nanti ada yang muterin di kineklub
Mbak, karena baca review nya aku jadi pengin nonton.
telat ga yah….. huhuhu
mungkin nanti ada dvdnnya atau diputer lg di festival 😀
iya mbk udah ga ada huhuhuu 😦
baiklah sabar menanti DVD atau film perdana di TV swasta nya aja hehehe 😀
Telat baca review ini, tapi gue udah nonton filmnya. Dan setuju sama komenlo, filmnya baguuusss! Gue nontonnya sampe mbrebes mili. Mana momen nontonnya pas beberapa hari sebelum Pilkada DKI pula. Jadi gue ngerasa isu yang ditampilkan cucok meong sama isu SARA di Pilkada kemarin.
Akting Bella juga caem ya, plus aktor2 ciliknya jempolan semua. Gue pengen beli DVD-nya dan ajak anak gue nonton utk belajar bahwa Indonesia itu gak cuma Jawa dan Islam, tapi banyak lagi suku dan agama di luar sana.
Thank you for the review, Tep 🙂
sama-sama, irra! aku pun suka banget, kayaknya film2 gini mesti dibanyakin dan disebarluaskan yah!