Makin tua, masalah hidup makin macem-macem bentuknya. Kadang kita dituntut untuk jadi lebih dewasa sebelum waktunya, kadang kita dikasih liat orang-orang yang cuma tua karena umur aja, tapi kelakuan dan cari berpikir masih childish bener. Makin ke sini, gue makin dikasih liat banyak hal, mulai dari yang membingungkan, mengagetkan, menyedihkan, menyusahkan, melelahkan sampe yang bikin lo ngetok-ngetok meja, amit-amit jangan sampe kita alamin. Kalo kata temen gue (yang seumuran juga), di umur-umur transisi ini gaya hidup, pengalaman, dan skill kita emang naik kelas… tapi masalah hidupnya juga naik kelas. YA NAIK BANGET INI, MAH. 😆
Gue sendiri merasa hidup gue ditempa jauh lebih cepet dari waktunya, dan (mungkin) karena gue anak sulung di keluarga broken home, mau nggak mau gue jadi yang harus lebih banyak mikir dan ngambil keputusan-keputusan penting di keluarga. Situasi-situasi kayak gini ternyata bikin kepribadian dan cara pikir gue berubah, selain karena umur dan pengalaman bertambah. Gue sering membahas ini sama temen-temen gue yang sepantaran, dan ternyata perubahan-perubahan ini sama-sama kami rasakan.
Jadi Lebih Galak dan Straightforward
Dulu, gue adalah manusia paling nggak enakan sedunia. Sekarang sih juga tetep mikirin perasaan orang kalau mau ngapa-ngapain, tapi di saat yang bersamaan gue juga jadi… galak, dan kadang bisa galak banget. Gue nggak tau gue dapet kekuatan dari mana, because I know I can also be too nice sometimes, tapi sekarang kadar toleransi gue untuk hal-hal tertentu udah mulai rendah.
Pada dasarnya gue juga anaknya nggak sabaran, sih, udah gitu karena kebiasa ngerjain apa-apa sendiri, jadi ketika berurusan sama orang lain dan orang tersebut lebih lelet dari pada gue, atau kerjanya asal-asalan, atau nggak jelas maunya apa, atau memperlakukan gue seenaknya (misalnya), itu gue cepet banget naik darahnya. : ))) Gue pikir gue doang yang kayak gitu, ternyata waktu gue ngomong sama beberapa “kakak-kakak” cewek gue yang pastinya udah matang juga, mereka rata-rata ya kayak gitu juga. Straightforward dari awal tentang apa mau mereka, dan kalo udah terlanjur kecemplung di situasi tertentu (baik di hubungan, pekerjaan, dan pertemanan), mereka juga nggak segan-segan bersuara atau marah sekalian. Apalagi kalo berurusan sama orang yang nggak responsif, at least untuk sekadar acknowledge kalo e-mail udah diterima misalnya, atau ngabarin kalo akan telat dateng/telat ngirim sesuatu lewat dari deadline… waduh. Bisa ngamuk bakar hutan beta. : )))) Bukan apa-apa, kalo bertahan harus “manis” terus, selain buang waktu, makan ati, tujuan yang diinginkan juga nggak tercapai, ya terus ngapain kita diem-diem aja nunggu keajaiban dateng kalau kita bisa speak up?
We Can’t Be Everybody’s Hero, Everytime
Sedalam-dalamnya gue bisa bersimpati atau bahkan berempati untuk suatu hal (yang di luar masalah gue), sejauh-jauhnya gue bisa memaintain lingkaran pertemanan gue (which I love), di umur sekarang di mana “baggage” gue juga mayan berat dan urusan-urusan hidup gue sendiri juga ribet, gue jadi lebih bisa milah kapan gue bisa bersimpati/berempati, atau make time untuk ketemuan, dan kapan gue harus fokus ngurus berbagai macam isu di hidup gue. I love my friends so so so much. I love them almost to the point that I couldn’t say no back then. Jangan salah, sampe sekarang gue juga masih seneng jadi “mbak-mbak tukang ngatur” jadwal catch up. I would try to make time as best as I could for them, dari ketemuan yang waktunya lega sampai yang mepet, kadang gue masih mau maksain. Tapi sekarang, lagi-lagi karena ngurus idup sendiri dan “bagasi” masing-masing aja udah rempong, jadi nggak bisa semua acara diiyain. Nggak bisa semua curhatan diladenin saat itu juga, nggak bisa semua orang diketemuin, dan lain-lain.
Mungkin karena temen-temen gue selain yang seumuran banyak juga yang lebih tua, jadi kayaknya kami sama-sama ngerti dengan kesibukan dan keribetan hidup masing-masing, yang penting kualitas pertemanannya tetep dijaga. Kalau emang ada masanya kita lagi renggang karena sama-sama sibuk, ya kita juga nggak maksain untuk ketemu. Gue juga kalo lagi capek banget atau sebenernya baik-baik aja tapi lagi nggak pengen ketemu manusia juga nggak maksain harus berinteraksi. You can’t say yes to everything, otherwise you’ll die.
Sekarang gue bisa menerima kenyataan kalau sahabat-sahabat gue udah banyak yang berkeluarga dan punya anak, jadi jadwal ketemuan akan semakin susah, atau kadang harus bawa anak pas ketemu. Kadang juga kami sama-sama sibuk sama urusan kerjaan, jadi sekadar makan siang atau dinner abis ngantor juga udah cukup. Yang penting fleksibel aja sih… dan jangan posesif. HAHAHAHA.
On Being (Kinda) Agnostic
Well, ini masalah yang sangat pribadi sebenarnya. Everybody is entitled to their own opinion and everybody has the right to choose what they believe in… and how they live with it. Itu kenapa gue liat makin ke sini makin banyak hal-hal yang bergeser di sekitar gue. Ada temen gue yang semakin taat sama agama yang dia anut, ada temen gue yang pindah agama, ada temen gue yang tetap menganut agamanya tapi nggak menjalankan beberapa aturan tertentu (kayak minum alkohol, makan makanan yang dilarang, dll), ada yang jadi atheis, atau ada yang kayak gue: agama hanya berakhir di KTP, gue nggak inget kapan terakhir gue ke gereja, dan gue merasa percaya sama higher power/Tuhan/semesta aja udah cukup, terlepas dengan cara apapun gue berdoa. Kadang gue bangun tidur dan langsung ngebatin berdoa, kadang sebelum makan gue masih bikin tanda salib karena kebiasaan, kadang sebelum pesawat take off gue bilang Bismillah, dan kadang kalo gue lagi stress, gue dengerin doa-doa agama Buddha di Youtube, karena zen banget. Mungkin gue kayak “layangan putus” yang nggak jelas arahnya ke mana, but I feel those are enough for my life. Believing that there’s a greater power beyond me, whether it’s God, an unknown being, an alien, what have you, gives me hope somehow. Standar dan cara orang-orang menemukan rasa “damai” di hati mereka masing-masing berbeda-beda, jadi gue rasa nggak ada yang salah atau benar. Apapun cara yang dipilih ya bener aja selama nggak ganggu dan nyakitin orang lain. Kalau suatu saat nanti gue menemukan agama baru yang ingin gue anut, mungkin cerita gue akan lain lagi. Tapi yang jelas makin ke sini gue merasa logika gue nggak bisa dikungkung di satu aliran agama aja, I don’t wanna belong to one “identity” if I can take the good out of everything that surrounds me. Besides, who are we to judge?
Love, Relationship, and Marriage are (Somewhat) Overrated
Though I know exactly how much I’m capable of loving and I still want to meet my partner in crime and be married to him someday, I somehow think that these three words are often overglorified. As if it’s everything, as if if you have them, your world is gonna be okay again, problem solved. Maybe I am not as naive as I was before, maybe I’ve seen too much reality, but right at this age I feel kinda irritated by it. Mungkin sama kayak hak manusia untuk memilih apa yang ini mereka percayai (beragama/agnostik/atheis/religius/nggak religius), semua orang berhak memilih hal-hal yang jadi tolok ukur kebahagiaan mereka, dan seringnya, ukuran-ukuran itu terpatok di cinta, hubungan, atau pernikahan, di luar urusan materi dan pencapaian pribadi. Gue bukan sinis sama tiga hal ini, ya. Siapa sih yang nggak seneng disayang (dan menyayangi), siapa sih yang nggak seneng bisa punya pacar yang cocok terus berakhir bisa hidup bareng? Who doesn’t like romance and butterflies? I also love the idea of soulmate, if that even exists. Cuma, makin lama gue merasa kok patokan-patokan ini kayak dipaksain ke gue sama sebagian orang, yah. Ya kalo belum ketemu orangnya, ya masa mau dipaksain. Kalo kita jadi fokus untuk nata hidup sendiri di karier, personal achievements, dan sisi-sisi kehidupan lain, ya masa jadi kita yang dianggap mengintimidasi?
I want to believe in all those beautiful things, but life doesn’t necessarily stop once you have them. It’s a constant effort. Even love fades if you don’t make effort, and I’ve seen too many failed marriages for me to rush into one. I want it, I would want it someday, but even if it doesn’t happen to me, then maybe it’s for the best.
Oh, also, I always thought the saying “Cinta Tak Harus Memiliki” is complete bullshit, but I never knew that I can actually live with it. There are some relationships in life that may not work out, some people you love but you just can’t have them, some tragic love stories, some unfinished business, some kind of pain you can’t explain… but you can accept it all. I never knew that I’m actually capable of feeling that way. Maybe because deep down I know, no matter how broken I am, I will always love again. There’ll always be someone new.
Life is How You Choose to Be: Choose to Have the Ammunition to Save Yourself
Minggu lalu gue ngobrol sama salah satu temen gue (cowok, seumuran, udah kawin). Dia nanya apakah gue masih akan bertahan di perusahaan tempat gue kerja sekarang sampe tahun depan. Terus gue bilang gue punya plan A, B, dan C, jadi mungkin gue stay, mungkin juga nggak. Tapi rencana paling utama dan terdekat adalah pengen nyari sekolah buat S2, terus dong temen gue bilang…
“…Tep, lo mah mending nyari suami daripada nyari sekolah lagi. Pas pula umur lo udah mateng gitu. Gue bukan ngeremehin loh ya, cewek juga sebenarnya silakan aja punya pendidikan tinggi, tapi kalo udah ada suami juga sekolah tinggi-tinggi amat juga buat apa.”
Terus gue nggak tau mesti ngomong apa. : )))
He’s a working man as well, tapi masih agak konvesional juga ternyata. Lah masalahnya gue punya contoh nyata di hidup gue alias emak beta sendiri ketika pisah sama bokap tanpa pekerjaan, gelar sarjana, tabungan, usaha sampingan dan lain-lain, malah ketimpaan beban-beban rumah tangga yang harus diberesin bertahun-tahun… terus gue disuruh ngulang hal yang sama gitu? : )))) Lagian sejak kapan hidup perempuan akan otomatis baik-baik aja kalo dia udah bersuami? Mau suatu saat suami gue kaya raya pun, I’ll be damned if I can’t stand on my own feet and be powerless. Kalau suami gue kaya, thoughtful, dan baik hati pun, kalau dia mati duluan dan gue bego ngatur duit warisannya, ya kelar juga bukan hidup beta? *maaf terlalu menggebu-gebu* :))) Eh, tapi gue nggak ngejudge siapa pun yang juga milih jadi ibu rumah tangga full time, ya. Mau S2 kek, S1, SMA doang, atau apapun, sebaik-baik apapun kondisi kita sekarang, always think about the worst condition that could happen and just start from there. Think about being able to save yourself out of those troubles. I’ve seen and went through real examples, I hope to God I don’t have to go through it again. Ada yang milih untuk sekolah tinggi supaya bargaining power di kantor jadi lebih tinggi, ada yang milih berbisnis, ya mana-mana aja, yang jelas kalo kita sebatang kara, kita juga harus baik-baik aja.
YA OLOH GUE NGETIKNYA PANJANG JUGA YA : )) Beginilah kalo perempuan lagi quarter life crisis, kadang galau pengen punya pacar, kadang ngerasa baik-baik aja sendiri, kadang pengen S2 dan melajang terus, kadang ngayal kapan punya suami kayak Andrew White, kadang pengen ini kadang pengen itu, kadang kebanyakan mikir sampe kadang bisa nulis sepanjang ini : ))) Yang jelas, di umur segini gue udah makin tau apa yang gue mau, and it comes first out of everything in my life. Mungkin hal-hal yang gue tulis tadi akan bergeser beberapa tahun lagi, mungkin juga nggak, but at least knowing what you want is already a step ahead into a long journey of adulthood.
I hope I’ll survive my 30s.
You will. We all will. Bruised here and there, but survived anyway. Just like we did in our 20s.
PELUK!
Like I said, you have sooooo much in you, please please please chase your dream, expand your horizon, you’re doing fine but you’ll do great and I am just a whatsapp away *smooch*
thank you for always being there and for believing in me, Bibeth sayaaaang! LOVE YOUUUUUUU! likewise, I’m just a whatsapp away! :*
❤️❤️❤ Tep!
Setuju banget lah sama mbak cantik ini yg point terakhir khususnya. I feel you lah mbak.
Jangan terlalu dengerin kata org mah. Kadang mereka ngomong ga dipikir. Jadi buat apa juga kita pikirin.
Semangat mbak! Semoga lancar semuanya. Cita & cintanya.
WE CAN DO IT!!!
WE CAN DO IT! Terima kasih ya, Ninaaa! :* Same wishes for you too!
Every decade in our age offers different challenges. Good luck Teppy!
super like!
amen to that, mbak! 😀
I feel you banget, Tep!
Untuk yang bagian orang lain ngerjain kerjaan lelet, emang gatel banget tapi klo gw bukannya marah ke orangnya, gw malah ngerjain sendiri soalnya cape klo mesti marah-marah dan lebih cepet aj klo gw kerjain sendiri huhu. Gw harusnya udah galak juga kali ya biar ujung-ujungnya ga gw terus yang ngerjain.
Untuk poin keempat, gw sampe cape jawab tiap kali temen gw nanya ‘kapan kita dapet jodoh ya?’. Yah, namanya juga belom dikasih jadi mendingan manfaatin waktu single ini sebaik-baiknya ga sih? Kesempatan buat bebas ngelakuin hal-hal yang kita mau sebelum kita terikat sama pasangan dan pernikahan. Dan ya itu dia, emangnya dengan nikah otomatis jadi lebih happy? Ya ga juga secara permasalahan ya pasti nambah.
Untuk poin terakhir, adohhh rasanya klo ketemu orang-orang kaya gini pengen roll my eyes sampe mata gw copot! Dan yang bikin lebih rese, kadang yang ngomong gini itu ibu-ibu yang sebenernya kerja juga tapi pemikirannya masih backward. Lagian hari gini bergantung sama suami doang, udah ga zamannya! Mitamit klo sampe sesuatu terjadi sama pernikahannya, masih bisa ada pegangan dan bertahan hidup!
ya ampun neng, ternyata aku tak sendirian HAHAHHAHAHA. ini quarter life crisis tuh masalah massal ya : )) PELUKAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN! Udah lah kita puas-puasin aja ya neng, tar udah puas main dapet suamik kayak Andrew White #TETEP : )))
you speak my mind darling.
memang semakin naik kelas, tapi kita juga semakin kuat ya semoga. semakin bisa dibawa ketawa dan ya udahlah ya tempo2 shit happens telen2 aja nanti kalau udah kenyang, keluar dengan sendirinya
pehluhkkk kencang
aku juga kadang ga ngerti loh dengan omongan “buat apa cewe sekolah tinggi2 kalo nantinya akan punya suami, ngurus anak, di dapur, dll” masalahnya….kalo seandainya nanti amit2 suami kita tiba2 ga ada kerjaan atau sakit, yg akhirnya cari nafkah siapa, ya kan istri juga… kalo pendidikan ga tinggi, kan susah cari kerja…
Itu juga yg gw alamin, Pasti akan ada selalu prtanyaan “mau sampe kapan kayak ginih? ” “mau sampe kapan single? ” or mau sampe kapan kerja trus or kapan nyari jodohnya..? People will always seeing us only from the cover, liat cewe yg kerja kantoran trus settle and aktivitas tinggi, akan brpikir as simple as that.. Mumpung single we still have a lot of chance to pursue anything what we want… Sapa tau sambil jalan dapet jodoh kayak Chris Evans… #ngarep #pakebanget 😁😁😁 it’s just us an independent woman… Semangkaaaaa… 😘😘😘
setuju sama dari gak enakan jadi galak. Kadang memang kita harus cuek ya mba kalau situasi udah gak bisa terkontrol. Semangat mba 🙂
Aku udah umur 30 ples dan ya emang sih sekarang lebih galak dan lebih ga sabaran hahahahah apalagi sama orang yang ga bisa menghargai orang lain. Terus soal nikah, jujur aku udah nikah. Tapi nikah ga akan menghentikan komentar orang kok tep. Ntar abis nikah pasti ada pertanyaan soal anak. Abis punya anak pasti akan ada pertanyaan lain. Jd udah hiraukan saja komentar2 yang macem itu. Karena bahagia itu dr diri sendiri bukan dr suami. Mau punya suami ganteng seksi tp diri sendiri ga hepi, ya bakal bubar juga. Chase your happiness dear.
Love love love your writing.. Exactly how I felt when I was in my late 20s..
Support u 1000% on going to school. Kudoakan dapet di NL ya beasiswanya 😊
Point terakhir ituh, yeah, i feel you. Been there. Gw juga speechless waktu ada yg ngomong ke gw kayak gitu. But life goes on and the one you can trust and rely on is yourself in the end. Jadi mandiri itu harga mati, mau siapa pun suamik nya nanti. You are not alone, sistaahh 😉
I love all your points, Kak 🙂
:*
Awalnya cuma aku aja apa yang ngerasa makin tua kok makin bitter gini sih. Suka marah, galak, dan sabaran… ternyata emang fasenya gitu yaa.
Udah hampir setahun ga ketemuan sama temen. Bukan karena marahan, tapi emang belum ada waktu yang pas. Udah 2 kali bahkan nolak ajakan temen SMA buat sekedar ketemu, ngobrol. yaa namanya fisik. Kadang selesai ngantor aja rasanya udah capek, kejebak macet, jadi yaa sorry……. 😦
Tahun ini aku 27 tahun dan belom ada planing apapun soal nikah. Taukan apa kata orang-orang :)))). Ngurus diri sendiri aja belom bener, gimana mau ngurus anak orang………..
Maaf yaa jadi numpang curhat di lapak orang. Heheheee. Yaa namanya juga cewek di umur quarter life crisis, kadang galau pengen punya pacar, kadang ngerasa baik-baik aja sendiri, kadang pengen resign, dan balik sekolah lagi….. terus ngayal dilamar Sam Clafin (efek abis nonton Me Before You) hahahahaaa.
Thanks kak Teppy buat tulisannya!