Guardian Angel(s) in Life


Gue selalu percaya sama konsep “guardian angels.” Kalo dalam kehidupan sehari-hari, pasti pernah kan ngalamin peristiwa-peristiwa genting, sulit, kepepet, membahayakan, pokoknya situasi-situasi yang berat atau darurat tapi entah bagaimana caranya semesta selalu punya cara untuk membantu kita “selamat” dari keadaan? They make our problems somehow bearable, as if it has its way out.

“Guardian angels” ini kadang muncul murni karena kita lagi beruntung, atau tiba-tiba ada orang asing yang muncul untuk membantu, atauuu… yang paling dekat sama keseharian kita: keberadaan saudara dan teman-teman yang baik hati di kehidupan kita. I seriously have no words for this. I’m tremendously lucky to have met these gems throughout my life. Salah satunya yang mau gue ceritain bernama Bu Lisa. Cerita yang gue ceritakan udah seijin beliau, ya. Sebenernya sih gue udah sempet share juga di Twitter, but let me write the full story here. Mumpung hawa-hawa Hari Kartini masih nyisa, nih.

Jadi sekitar empat tahun lalu gue pindah ke kosan gue yang sekarang. Nah, Bu Lisa adalah ibu yang jaga dan ngurus kosannya (bukan yang punya). Dulu-dulu nih gue biasanya ngekos di kosan yang individualis banget, hampir nggak ada interaksi sama penghuni lain maupun yang jaga. Cuma di kosan sekarang baru nemu sosok ibu penjaga yang keibuan banget, jadi gue sering ngobrol juga.

Ibu Lisa ini super helpful, bukan karena pekerjaannya aja, ya, tapi karena emang karakter orangnya. Tau kan kadang anak kosan makanannya suka yang instan-instan aja, atau malah makan di luar terus? Nah, kalo sama Bu Lisa kadang malah pintu kamar gue suka diketok, dibagi hasil masakan dia *nangis pelangi* Bu Lisa juga nyambung sama nyokap gue, mereka suka ngobrol berdua kalo nyokap pas main ke kosan gue.

By the way, Bu Lisa ini juga salah satu sosok wanita tangguh yang pernah gue temui di hidup gue. Beliau ini dulu tinggal di Jakarta sama suami dan kelima anaknya dalam kondisi berkecukupan, tapi namanya hidup, keluarga Bu Lisa kemudian mengalami keterpurukan finansial. Setelah menjual semua aset, mereka sekeluarga memutuskan pindah ke tanah kelahiran di Jawa (Wonosari). Bu Lisa lalu nyambi kerja jadi guru TK di sana untuk nyari tambahan biaya. Singkat cerita, gaji dari pekerjaannya nggak cukup banget untuk membiayai kelima anaknya (saat itu Bu Lisa pisah dengan suaminya tanpa dinafkahi lagi, termasuk anak-anaknya), jadi Bu Lisa harus cari akal supaya bisa membiaya kuliah dan sekolah anak-anaknya. Itu makanya Bu Lisa pindah ke Jakarta dan ngambil tawaran pekerjaan untuk ngurus kosan tempat gue tinggal di sini. Dalam keadaan itu Bu Lisa harus jauh-jauhan dengan kelima anaknya, anak yang sulung di sana harus gantiin posisinya untuk ngurus adek-adeknya sambil kuliah. Somehow I can see resemblance between her and my mom, the grit they both have.

Yang gue salut, Bu Lisa ini positif banget. Nggak bitter, selalu optimis, dan tetep helpful dan baik sama orang. She has every reason and right to just focus on her own problems, but she decided to spread love and kindness still. And that’s what I love about her.

Hal yang paling gue inget banget dan tentunya membekas adalah bantuannya Bu Lisa waktu nyokap baru keluar dari Rumah Sakit. Jadi waktu itu nyokap baru abis keluar dari ICU selama 10 hari karena kena stroke akut. Waktu keluar dari rumah sakit nyokap belum bisa jalan, ngomongnya masih ngaco dan repetitif banget karena memorinya juga kacau, banyak hal-hal yang dia skip. Gue sama adek-adek gue aja waktu itu dikira masih SMP. Jadi nyokap gue nggak paham tiap kami pamit kerja, kenapa anak-anaknya kok pada ngantor, bukan sekolah.

Nah, setelah nyokap keluar RS kami nggak bisa langsung dapetin perawat dalam waktu singkat, sementara kami semua mesti ngantor setelah ijin jaga di RS berhari-hari. Mau ninggalin nyokap di rumah Bekasi nggak mungkin karena nggak ada yang jaga, ngasih makan, dan ngawasin obatnya yang harus diminum tiap beberapa jam sekali. Waktu itu nyokap bisanya cuma baring doang aja sepanjang hari. Karena keadaan yang lagi ribet itu, akhirnya nyokap diinepin sementara di kosan gue terus gue harus akrobat ngantor – nyari suster sampe dapet – ngurus nyokap – nganter nyokap ke Bekasi dalam minggu itu kalo udah dapet suster.

Di tengah ribet dan kalutnya saat itu (karena ngurus orang sakit keras sambil tetep kerja itu berat banget, sakitnya stroke pula jadi nguras emosi), Bu Lisa menawarkan bantuannya untuk jagain nyokap beberapa hari. Termasuk bantu masak dan ngasih makan nyokap yang waktu itu susah makan dan nggak bisa makan macem-macem. Terus karena memorinya belum bener kayak sekarang, kalo diajak ngobrol suka nggak nyambung dan ngulang-ngulang terus dalam durasi waktu yang berdekatan (misal per setengah jam), jadi mesti ekstra sabar ngadepinnya, kalo nggak kitanya yang naik darah.

Gue nggak enaaak banget waktu itu. Ya gimana ya, ini kan ngurusin orang sakit yang nggak terlalu dikenal akrab ibaratnya, dan kebutuhannya spesifik banget. Coba bayangin ngurus bayi yang nggak bisa apa-apa tapi ini dalam wujud orang dewasa. Kira-kira begitulah pengalamannya. Butuh kesabaran tinggi. Ibaratnya ini lagi ada masalah keluarga tapi tau-tau dibantuin orang lain yang sehari-harinya punya kerjaan dan beban sendiri juga.

But thankfully with her sincere heart, she kept telling me that I didn’t have to feel bad at all. (And so did my super kind, helpful friends who helped during those times. God bless your kind hearts, darlings!). Akhirnya setelah beberapa hari akrobatik itu gue menemukan perawat untuk nyokap dan bisa mulai ngurusin sendiri sama adek-adek.

Itu salah satu momen paling berbekas sama Bu Lisa. Seperti yang udah gue bilang di atas, terlepas masalah hidupnya, Bu Lisa ini tangguh dan sabar luar biasa. Tekad beliau, anak-anaknya harus bermasa depan cerah, jadi mau apapun kerjaannya dia ambil aja. Sekarang tiga anaknya udah kerja, jadi gue ikut seneng bisa liat perkembangan keluarga mereka, paling nggak, nggak seberat awal ketemuan dulu.

Processed with VSCO with a6 preset

Bu Lisa & I. 

Monmaap fotonya mesti di depan rumah banget, hahaha

Sebagai bentuk terima kasih gue atas #KebaikanTanpaSyarat Bu Lisa, gue pengin kasih hadiah kecil untuk beliau. #KadoLoveLife namanya, sebagai bantuan proteksi asuransi jiwa Bu Lisa. Paling nggak kalau dia banting tulang untuk anaknya dan mungkin sudah ada proteksi kesehatan, kado kecil ini bisa nambahin untuk proteksi jiwanya. Nah, buat temen-temen yang juga pengin kasih kado kecil atau donasi ke siapapun misalnya, #KadoLoveLife bisa jadi salah satu pilihan tepat yang bermanfaat.

kadolovelife

Sekali lagi Selamat Hari Kartini semuanya, semoga semangat belajar Bu Kartini, semangat juang Bu Lisa, dan jutaan perempuan-perempuan tangguh di luar sana terus terjaga nggak cuma pas Hari Kartini aja, tapi setiap hari. 

‘Til next post, peeps!

5 comments

  1. duh duh…. terancam mbrebes mili nih…suka wondering…how come people through so much trouble and yet she still be able to keep the bitterness aside…. :((

    • PELUUUUUUUUUK! Kalo Bu Lisa lumayan religius, dan gue rasa itu sangat masuk akal. Kalo secara mental beliau nggak punya tempat untuk “jatuh” (Tuhan) mungkin outcomenya jadi beda, ya. But I think it’s her sweet personality too.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s