TEPPY-O-METER: Pretty Boys


Kalian semua pasti udah tau ya soal film “Pretty Boys” yang tayang mulai 19 September 2019 lalu? Gue nggak akan berpanjang-panjang, toh filmnya juga udah gue review di Teppy-O-Meter minggu lalu.

Buat yang suka becandaan ala Vincent Desta dari dulu (kayak gue yang udah ngikutin mereka sejak MTV Bujang tahun 2005 — TUA NGGAK TUH?!) sampe sekarang ada Tonight Show, tentu saja gue nggak sabar nonton “Pretty Boys.” Tapi setelah nonton gue resah gelisah, karena ini satu dari sedikit film yang bikin gue nggak tau harus merasa apa. Kayak gue nggak bisa bener-bener mutusin gue suka atau nggak sama filmnya. Biasanya kalo abis nonton film apa pun gue bisa mutusin gue suka atau gue nggak suka. Kalo ini rasanya tuh di tengah-tengah gitu. Di satu sisi terhibur dan ngakak banget, suka sama sinematografi dan pemilihan lagunya pun, di sisi lain agak terganggu sama guyonan-guyonan yang “nyerempet.” Hal ini juga sempet dibahas sama temen gue, Candra Aditya, di tulisannya di Provoke Online.

pretty_boys_1

Tapi kalau mau nonton tanpa mikir sama sekali sih bisa banget. Kalian akan ngakak sama sesi lempar melempar jokes antara Anugerah (Vincent) dan Rahmat (Desta) dan terharu terbawa emosi antara Anugerah dan Bapaknya (Roy Marten). Tadinya gue sempet manggut-manggut begitu sentilan-sentilan yang ngebahas soal TV diangkat di sini. Misalnya kayak honor telat. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, terutama setelah gue inget-inget cerita dari temen-temen gue kerja di TV, sebenernya ada banyak banget hal yang bisa diangkat lebih dalam soal bobroknya TV. Tentang acara yang sampah tapi rating tinggi dan orang-orang di belakangnya mungkin harus berhadapan sama sekuter (selebriti kurang terkenal) demanding yang sekadar cari sensasi, tentang proses bikin berantem settingan, tentang ngorek-ngorek cerita pribadi orang sampe di luar batas, tentang acara adu bakat nyanyi tapi yang dibahas penderitaan dan drama keluarga koleganya, grasa-grusu di balik produksi, brainstorming sampe malem, tiba-tiba ganti topik yang udah disetujui karena ada isu yang tiba-tiba hangat, dan lain-lain.

Anyhoo, level sensitivitas orang pasti beda-beda, dan gue kan juga nggak bisa maksa orang untuk sepaham sama gue. Kalo pun ada hal baik yang bisa ditarik dari kehadiran “Pretty Boys”, menurut gue adalah film ini bikin kita jadi diskusi dan bikin kita jadi lebih peka. Mungkin ada yang liat film ini problematik, mungkin ada yang bilang kami-kami yang terganggu ini terlalu sensitif, mungkin ada yang sebodo amat yang penting ketawa… ya sah-sah aja, paling nggak kita makin “melek” dan budaya ngobrol dan menganalisa kita makin kuat. 🙂

Sebagai penutup, gue kemarin malah tertarik nonton wawancara antara Tompi dan Pandji di mana Tompi cerita trik-trik dia dalam menyutradari film ini. Gimana handle budget, gimana menciptakan visual yang dia mau walau kadang budget nggak masuk atau situasi nggak mendukung.

 

Buat yang belum nonton, selamat ke bioskop, ya!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s