Memaknai film “It Ends with Us”


Minggu lalu gue berkesempatan nonton film “It Ends with Us,” film yang diangkat dari buku berjudul sama yang ditulis sama Colleen Hoover. Terus terang gue nggak pernah ngikutin buku-bukunya Colleen Hoover, tapi begitu denger salah satu bukunya yang hits banget ini difilmin tentu gue excited, soalnya isu yang diangkat bener-bener isu yang gue peduliin dan juga deket sama pengalaman hidup gue di masa lalu: domestic violence.

Seperti yang tertulis di poster film ini, “We break the pattern, or the pattern breaks us.” Gimana ya cara memutus siklus hubungan yang bukan cuma nggak sehat, tapi berbahaya buat keselamatan fisik dan jiwa kita? Film berdurasi 2 jam 11 menit ini mungkin nggak bisa dijadiin acuan langsung ya, karena namanya juga film, cerita harus selesai dalam durasi singkat, tapi semoga film ini bisa ngasih inspirasi untuk mulai “gerak” dan berstrategi untuk “keluar” atau bantu orang terdekat yang mengalami kejadian serupa untuk memutus mata rantainya, atau paling nggak bikin kita belajar berempati sama korban dan penyintas kekerasan dalam hubungan.

Anyway, sebenernya faktor utama yang mendorong gue untuk nonton film ini adalah karena Justin Baldoni, aktor yang gue kagumi sejak Jane the Virgin dan podcast-nya “Man Enough” di mana dia ngajak audiensnya untuk ngebongkar toxic & traditional masculinity, memaknai ulang arti maskulinitas/”man enough” dan dengan terbuka belajar untuk ngertiin perempuan dan keseteraan gender jauh lebih dalam. If the person who directs this movie is that open and that delicate, I’m in!

Film ini bercerita soal Lily Bloom, seorang perempuan yang lahir dan besar di keluarga yang bermasalah. Bapaknya abusive ke ibunya, ibunya tetep bertahan walaupun di-abuse bertahun-tahun. Di masa-masa remajanya, Lily jatuh cinta sama temen sekolahnya, Atlas, tapi suatu hal bikin hubungan mereka nggak bisa lanjut, dan kejadian ini melibatkan Bapaknya Lily.

Fast forward ke masa dewasa, bokapnya Lily akhirnya meninggal (w nggak sedih soalnya biarpun Bapaknya Lily baik dan sayang ama Lily, doi brengsek banget sama ibunya Lily. BHAAAY. wkwkwk), dan setelah pemakamannya, Lily ngelamun merenungi hari itu di rooftop sebuah gedung random yang dia datengin, yang ternyata adalah gedung apartemennya Ryle (Justin Baldoni) seorang dokter bedah saraf yang hot banget yang kayaknya punya anger issue karena malem itu sebelum ngobrol sama Lily, doi nendang kursi, keliatan marah.

Eh pas ngobrol sama Lily, keliatan flirty-nya wkwkwk. Gue pas nonton yang, “Wedeeeh, cepet juga nih goda-godanya di rooftop gedung. Kalo gue mah cuma khawatir masuk angin aja sih kalo make out di situ, angin malem shaaay.”

Singkat cerita, ya lo udah bisa tebak lah ya ini arah ceritanya ke mana. Dua orang hot bersatu plus masa-masa PDKT yang manis manja grup, menjadikan separuh awal (separuh lebih film ini bahkan) kayak ada efek geli-geli di perut liat Lily sama Ryle pacaran. Belakangan baru deh tuh muncul deh tuh Mas Atlas dari masa lalu, Cinta Lama Belom Kelar-nya Lily. Nah, di bagian-bagian inilah cerita cinta Lily udah nggak seindah di awal-awal. Berhubung gue nggak mau spoiler, yaaa… kita tebak aja biang keroknya siapa dan ending-nya gimana.

Yang jelas film ini nunjukin kalo hubungan red flag tuh kadang bisa nyaru dikit atau nyaru banget. Tergantung perspektif yang nonton. Gue sampe berulang kali mikir, hmmm… ini tuh nggak red flag-red flag banget sih, tapi dibilang green flag juga nggak. Kayak, kalo dipikir-pikir, mungkin Lily begitu si masnya ngomong begini harusnya nggak diladenin atau ekstra hati-hati, tapi abis itu masnya muaniiis banget. Bucin abis. Pokoknya bisa mencontohkan deh kalo hubungan toxic dan abusive itu kompleks banget, kadang rasanya semuanya baik-baik aja, pasangan kita baik-baik aja, tau-tau satu hari doi bisa nge-flip begitu aja, kayak orang lain yang kita nggak pernah kenal (atau selama ini orangnya tahan mati-matian untuk nutupin sifat aslinya). Atau… pasangan kita punya trauma akut dari masa lalu yang nggak diberesin/diobatin, sehingga manifestasinya jadi anger issue atau lebih parah lagi, kekerasan pada pasangan atau orang terdekat.

Bener-bener deh, kasus seperti ini nggak bisa dibandingin apple to apple, setiap kasus pasti unik, walau pola umum pasangan abusive bisa kita liat (posesif, obsesif, ngekang, cemburuan, curigaan, love bombing abis bikin salah, dan sebagainya). Mungkin solusi yang ditawarkan di film ini kayak gampang dan cepet banget, kayak, udah build up panjang-panjang, lah kelarnya gampang banget. Tapi ini kan contoh aja ya, supaya bisa jadi cerita yang bisa menginspirasi atau relateable buat korban serta penyintas di luar sana gimana karakter Lily bisa keluar dari situasinya. Oh, dan contoh juga nih guys, and I can vouch for this because I experienced it too. Walaupun kita pernah melihat orang tua kita mengalami hubungan abusive dan di hati kecil kita bertekad nggak mau sampai mengalami hal yang sama, kita punya trauma pahit di masa lalu harus jadi saksi mata KDRT tapi nggak bisa bantu, dan jadi pengen bisa tegas tolak mentah-mentah dari awal ketemu calon pasangan red flag di masa dewasa, tapi kalo udah melibatkan perasaan, ternyata nggak segampang itu Ferguso.

Lily udah kurang trauma apa liat ibunya digebukin Bapaknya, tapi ternyata pattern-nya terulang di hidup dia, walaupun secara alam bawah sadar dia pasti anti sama laki yang kayak Bapaknya. Jadi begitulah guys. Oh, dan gue yakin banyak banget faktor lain yang menyebabkan seseorang terutama perempuan susah keluar dari manipulasi dan kungkungan pasangan abusive-nya, secerdas dan sekuat apapun perempuan itu tampak di mata kita dari luar.

Makanya gue berharap, film It Ends with Us ini bisa bikin kita untuk terus belajar berempati sama para korban yang sedang mengalami dan penyintas. Bisa bikin kita berkaca, gimana ya caranya jadi support system yang baik, apa yang harus kita lakukan dan ucapkan kalo teman kita lagi ngalamin kejadian serupa. Sebagai orang yang mungkin bisa lihat sesuatu lebih jernih, apa nih yang bisa kita bantu? Mereka harus kita bawa ke mana aja? Pihak-pihak mana yang bisa bantu para korban KDRT?

Buat temen-temen yang sedang mengalami apa yang Lily alami, yang merasa situasi kalian sangat kejepit, mentok, bahkan keliatannya nggak ada jalan keluar, gue doakan semoga kalian ada kesempatan dan kekuatan untuk reach out ke teman-teman terdekat atau ke lembaga yang bisa bantu kalian keluar dari situasi buruk ini, karena yang terpenting adalah bisa keluar secepatnya. Ask for help, don’t hold it in, and don’t blame yourself. Do as much as you could to survive and that means not to keep allowing yourself to receive his/her mistreatment, but I pray that you can muster energy and courage to ask for help and get out. Let’s try to break the pattern, or the patterns will indeed, break us.

OH SATU LAGI. Kekerasan itu untuk gue nggak cuma fisik. Mental dan emosional menurut gue juga. Ya intinya sih kalo pasangan kalian tidak memperlakukan kalian dengan baik dan semestinya sehingga menghasilkan damage yang luar biasa di kalian dalam bentuk apapun, sepertinya sudah saatnya kita bikin strategi untuk cabut, karena kebahagiaan kita ada di atas segalanya. Kita harus selametin diri kita dulu baru mikirin perasaan anak, orang tua, dan keluarga mikir apa. Kalo kita nggak hepi dan tetep bertahan untuk hidup nggak hepi, anak juga bisa lihat dan ngerasain.

Selamat menonton teman-teman. Jangan lupa ada trigger warning. I hope you find a friend or solace in Lily’s and their support systems.

In the meantime, take care!

Leave a comment